5 Putusan Pengadilan Terkait Kebakaran Lahan
Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bisa bernafas lega. Soalnya, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara mengabulkan sebagian gugatan KLHK atas kasus kebakaran lahan yang melibatkan PT Jatim Jaya Perkasa. Meski demikian, KLHK merasa tidak puas dan berencana mengajukan upaya hukum banding.
Dalam kasus lain, ada pula gugatan KLHK yang ditolak oleh majelis hakim dalam kasus yang sama. Bahkan, pemerintah terkadang menjadi pihak tergugat dalam kasus kebakaran lahan. Untuk lebih jelasnya, berikut beberapa putusan pengadilan terkait kebakaran hutan yang dirangkum hukumonline:
1. Putusan PN Jakarta Utara, Tahun 2016
Pengadilan Negeri Jakarta Utara memutus perkara kebakaran lahan PT Jatim Jaya Perkasa, Rabu (15/6). Dalam putusanya, majelis hakim yang diketuai Inrawaldi mengabulkan sebagian gugatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan menyatakan bahwa PT JJP telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) atas kebakaran dilokasi kebun sawit mereka. Meski majelis hakim sudah memutuskan bahwa PT JJP melakukan PMH, KLHK akan menyiapkan langkah hukum banding. Hal ini dilakukan karena majelis hakim hanya mengabulkan sebagian gugatan atas kebakaran lahan seluas 1.000 Hektar di lokasi PT JJP.
Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Rasio Ridho Sani, mengatakan KLHK meyakini bahwa luas lahan yang terbakar adalah 1.000 hektar sementara majelis hakim berpendapat luas yang terbakar 120 hektar. “Untuk itu majelis hakim menjatuhkan ganti rugi Rp7.196.188.475 dan biaya pemulihan Rp22.277.130.852. Ganti rugi dan biaya pemulihan ini lebih kecil dari yang digugat oleh KLHK yaitu sebesar Rp 491.025.500.000,” katanya.
Berkaitan dengan kebakaran hutan dan lahan, kata Ridho, KLHK akan terus melakukan langkah-langkah penegakan hukum, baik melalui penerapan sanksi administratif, pidana maupun melalui gugatan perdata. “Langkah-langkah penegakan hukum ini perlu dilakukan agar teruwujudnya efek jera bagi pelaku,” ujar Ridho.
2. Putusan PN Palembang, Tahun 2015
Gugatan perdata Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terhadap PT Bumi Mekar Hijau (BMH) senilai Rp7,8 triliun ditolak oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Palembang. Dalam putusannya, majelis menilai, penggugat tidak bisa membuktikan adanya perbuatan melawan hukum dan unsur kerugian. Ketua majelis hakim Parlas Nababan mengatakan, selain menolak gugatan, KLHK selaku penggugat juga diwajibkan membayar biaya perkara sebesar Rp10.521.000. Putusan tersebut dibacakan dalam sidang terbuka yang dihadiri kedua belah pihak, organisasi penggiat lingkungan dan awak media di Palembang, Rabu (30/12).
Parlas membacakan hal-hal yang menjadi pertimbangan sebelum memutus. Di antaranya, adanya ketersediaan peralatan pengendalian kebakaran, lahan yang terbakar masih dapat ditanami lagi, pekerjaan penanaman diserahkan ke pihak ketiga, adanya pelaporan secara reguler dan diketahui tidak ada laporan kerusakan lahan di Dinas Kehutanan Ogan Komering Ilir (OKI).
Atas dasar itu, majelis menyatakan tidak ada hubungan kausal antara kesalahan dengan kerugian. Dari hasil laboratorium diketahui tidak ada indikasi tanaman rusak karena setelah terbakar, tanaman akasia masih dapat tumbuh dengan baik. Kemudian, pihak penggugat juga tidak dapat membuktikan adanya kerugian ekologi, seperti adanya perhitungan kehilangan unsur hara, kehilangan keanekaragaman hayati,sehingga tidak dapat dibuktikan perbuatan melawan hukumnya.
Selain itu, majelis juga menilai justru PT BMH yang mengalami kerugian sehingga menolak gugatan perdata KLHK senilai Rp7,8 trilun.Parlas mengatakan, berdasarkan fakta, keterangan saksi dan ahli diketahui bahwa pihak penggugat (KLHK) tidak dapat membuktikan perhitungan kerugian seperti yang digugatkan melalui hasil laboratorium terakreditasi sesuai peraturan UU. "Atas pertimbangan itu, majelis hakim menolak gugatan dan membebankan biaya perkara ke pihak penggugat (KLHK)," kata Parlas.
Gugatan ini dilayangkan negara atas terbakarnya lahan hutan tanaman industri pohon akasia seluas 20 ribu hektare milik PT BMH pada 2014 di Distrik Simpang Tiga Sakti dan Distrik Sungai Byuku Kabupaten OKI.
3. Putusan PN Palalawan, Tahun 2013
Perkara pidana pembakaran hutan di Desa Pangkalan Panduk, Riau ini menyeret Suheri Terta serta Fachruddin Lubis, masing-masing Direktur Utama dan Kepala Proyek perusahaan kelapa sawit PT Mekarsari Alam Lestari (PT MAL). Keduanya didakwa sejak tahun 2008 telah membakar hutan dalam rangka membuka dan menyiapkan lahan gambut untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit.
Pembakaran itu dilakukan dalam rangka meningkatkan kadar keasaman tanah agar cocok ditanami kelapa sawit. Mereka disinyalir sengaja melakukan pembakaran itu dengan cara membuat kanal-kanal yang berfungsi sebagai pembatas petak lahan perkebunan sekaligus untuk melokalisir kebakaran agar api tetap berada di jalur penanaman yang telah direncanakan. Kerugian ekologis dan ekonomis yang terjadi akibat peristiwa itu ditaksir lebih dari Rp87 miliar.
Selain itu, ternyata perusahaan tersebut diketahui tidak memiliki analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL), Izin Usaha Perkebunan (IUP), sarana dan prasarana serta sumber daya manusia maupun prosedur dalam penanggulangan kebakaran hutan. Padahal, di tahun 2007 PT MAL telah mendapat teguran mengenai hal itu dari Badan Pengendali Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Riau setelah terjadi kebakaran di lahan perkebunan mereka.
Suheri dan Fachrudin pun dituntut hukuman satu tahun penjara dan denda RP100 juta. Pada tanggal 11 September 2012, Pengadilan Negeri Pelalawan melalui putusan nomor: 08/PID.B/2012/PN.PLW, menyatakan keduanya terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana ”Karena Lalainya Melakukan Perbuatan yang Mengakibatkan Kerusakan Lingkungan Hidup”. Keduanya pun dihukum membayar denda masing-masing Rp133 juta. Atas putusan tersebut, tiga hari kemudian Penuntut Umum mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Pekanbaru. Kemudian pada 31 Januari 2013, PT Pekanbaru menghukum keda terdakwa penjara enam bulan dengan masa percobaan satu tahun dan denda masing-masing Rp100 juta.
4. Putusan PN Meulaboh, 2014
Pada 8 November 2012, Menteri Lingkungan Hidup menggugat PT Kallista Alam, yang salah satu kuasa hukumnya adalah Luhut MP Pangaribuan, karena lahan perkebunannya berada di kawasan konservasi Leuser. Selain itu, selama Januari-November 2011 juga ada indikasi kebakaran di lahan perusahaan tersebut. Pihak perusahaan pun mengakui telah terjadi kebakaran lahan, namun hanya berlangsung selama tiga hari di pertengahan bulan Maret. Pihak Menteri Lingkungan Hidup juga mensinyalir pembukaan lahan dengan membakar hutan dari laporan keuangan perusahaan.
Menurut Menteri, untuk membuka satu hektar lahan secara normal dibutuhkan sekitar Rp40 juta,namun perusahaan melaporkan biaya pembukaan seratus hektar lahan hanya sekitar Rp8 juta. Akibat perbuatannya, perusahaan dinilai telah menurunkan kualitas lingkungan hidup dengan menghilangkan fungsi tanah gambut dan merusak keanekaragaman hayati. Perusahaan pun digugat untuk tidak menanami kelapa sawit di atas lahan seluas seribu hektar yang telah terbakar. Sebaliknya, perusahaan harus membayar biaya pemulihan lingkungan atas lahan itu sekitar Rp250 miliar. Selain itu, perusahaan diminta membayar ganti rugi sebesar lebih dari Rp114 miliar.
Pada tanggal 8 Januari 2014, majelis hakim pada Pengadilan Negeri Meulaboh yang terdiri dari Rahmawati, Rahma Novatiana, dan Juanda Wiajaya mengabulkan sebagian gugatan Menteri Lingkungan Hidup. Perusahaan dinyatakan telah melakukan perbuatan melanggar hukum dan harus membayar ganti rugi materiil secara tunai melalui rekening kas negara sekitar Rp114 juta. Perusahaan juga tidak boleh menanami lahan gambut seluas seribu hektar yang izinnya telah dimiliki itu. Ditambah pula, perusahaan harus membayar biaya pemulihan lingkungan sesuai permintaan penggugat. Jika perusahaan terlambat melaksanakan putusan nomor: 12/ PDT.G/ 2012/ PN.MBO tersebut, dikenakan uang paksa Rp5 juta per hari.
5. Putsan PN Jakarta Pusat, 2014
LSMWahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) yang diwakili Ketua, Sekretaris, dan Bendaharanya mengajukan gugatan kepada Negara Republik Indonesia pada bulan Oktober 2013. Ada Sembilan belas instansi kementerian maupun pemerintah daerah yang menjadi tergugat. Di antaranya, Presiden, Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup, Kapolri, Gubernur Riau, Gubernur Jambi, dan Bupai/Walikota di kedua provinsi itu.
Walhi menggugat pemerintah atas maraknya kebakaran hutan yang besar dan terus menerus sejak tahun 1980-an di Indonesia. Pemerintah dinilai tidak mampu dan tidak berhasil mengatasi, menegakkan hukum dan melakukan penanggulangan dini peristiwa itu. Dengan demikian, pemerintah dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian materiil dan immateriil. WALHI pun mengajukan beberapa tuntutan, antara lain membuat peta kerawanan kebakaran hutan nasional. Kedua, mengembangkan sistem informasi kebakaran hutan. Ketiga, menetapkan pola kemitraan dengan masyarakat. Keempat, menetapkan standar peralatan pengendalian kebakaran hutan. Kelima, membuat program penyuluhan dan kampanye pengendalian kebakaran.
Keenam, menetapkan pola pelatihan pencegahan kebakaran. Pemerintah juga dituntut melaksanakan pembinaan dan pengawasan. Khusus untuk Kementerian Lingkungan Hidup, dituntut melakukan audit lingkungan terhadap semua izin Perkebunan dan Hutan Tanaman Industri di Propinsi Riau dan Propinsi Jambi. Selain itu, semua tergugat diminta menyampaikan permohonan maaf secara tertulis kepada seluruh rakyat Indonesia melalui media masa.
Namun, pada 25 November 2014 Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan gugatan WALHI tidak dapat diterima. Majelis hakim yang diketuai Nani Indrawati menerima eksepsi para tergugat. Dengan demikian, menurut majelis hakim, gugatan yang diajukan oleh WALHI kurang subjek dan kabur (obscuur). Akibatnya, pokok perkara gugatan tidak perlu dipertimbangkan dan harus dinyatakan tidak dapat diterima.
Source : hukumonline.com
Post a Comment